Kamis, 28 Juli 2022

MEMBUAT SURAT KERJASAMA DAN SURAT PERJANJIAN YANG BAIK DAN BENAR

 

surat kerjasama dan surat perjanjian yang baik dan benar

MEMBUAT SURAT KERJASAMA DAN SURAT PERJANJIAN YANG BAIK DAN BENAR

Membuat surat kerjasama atau surat perjanjian sangat di perlukan dalam dunia bisnis karena di dunia bisnis sangat rentan wan prestasi atau melanggar janji dan ingkar janji pembuatan bertujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak inginkan yang menyebabkan kerugian-kerugian dalam berbisnis. Melakukan kerjasama dalam dunia bisnis merupakan hal yang lumrah. Melalui kerjasama tersebut, pebisnis dapat memperoleh keuntungan lebih besar. Jenis kolaborasi yang dapat dilakukan dalam dunia usaha sangat beragam, termasuk di antaranya adalah kesempatan memperbesar modal, menjaga kelangsungan produksi, mengembangkan kemampuan produksi, ataupun memperluas pangsa pasar.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan kerjasama adalah memastikan bahwa kolaborasi tersebut disertai aturan jelas dan tertulis. Artinya, Anda perlu menyusun surat perjanjian kerjasama yang sifatnya mengikat kedua pihak. Anda bisa menemukan contoh surat perjanjian kerjasama beserta strukturnya dengan mudah di internet. Dalam surat kerjasama itu akan mencakup 3 aspek utama, yaitu:

1.    Unsur Perbuatan

Setiap tindakan atau perbuatan oleh pihak yang terikat dalam perjanjian bakal mempunyai konsekuensi yang sudah ditentukan.

2.    Unsur pelaku

Perjanjian dapat dilaksanakan setidaknya terdapat 2 pihak. Kedua pihak tersebut bisa berupa perorangan ataupun badan hukum.

3.    Unsur pengikat

Surat perjanjian memiliki sifat mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, di dalamnya pun terdapat konsekuensi hukum atas segala perbuatan dari masing-masing pihak.

 

Syarat Sah Surat Perjanjian Kerjasama

Hal yang perlu Anda ketahui, tidak semua contoh surat perjanjian kerjasama bisa dipandang sah secara hukum. Berdasarkan aturan dalam Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1.320, disebutkan terdapat 4 syarat sah surat perjanjian, yaitu:

1.    Disepakati semua pihak

Setiap poin yang ada dalam surat perjanjian harus telah memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak. Surat tersebut bakal menjadi tidak sah kalau ternyata ada salah satu pihak yang melakukan persetujuan dengan disertai paksaan.

2.    Dilakukan pihak yang cakap

Pihak yang terlibat dalam perjanjian harus memiliki kecakapan di mata hukum. Artinya, masing-masing pihak telah berusia dewasa dan tidak berada di bawah perwalian.

3.    Suatu hal tertentu

Perjanjian dapat dibuat kalau disertai adanya objek tertentu yang diperjanjikan. Selain itu, objek tertentu tersebut juga merupakan barang yang dapat diperjualbelikan.

4.    Causa halal

Kekuatan hukum pada surat perjanjian berlaku ketika di dalamnya terdapat causa halal yang tidak memiliki pertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

 

Struktur Surat Perjanjian Kerjasama

Selanjutnya, setiap contoh surat perjanjian kerjasama yang Anda temukan akan memiliki susunan yang jelas. Sebagaimana surat resmi lain, surat kerjasama memang punya format penyusunan tersendiri.

 

Saat menyusun surat kerjasama, bagian-bagian yang harus tercantum di dalamnya adalah:

1.    Judul surat perjanjian

Judul surat perjanjian menjadi identitas utama dari surat yang dibuat. Keberadaannya menjadi representasi isi perjanjian.

2.    Identitas pihak yang membuat perjanjian

Komponen ini mencakup informasi tentang data pribadi pihak yang terlibat dalam perjanjian.

3.    Premis perjanjian

Premis merupakan keterangan singkat tentang perjanjian. Di dalamnya juga tercantum latar belakang pembuatan perjanjian. 

4.    Isi perjanjian

Isi perjanjian biasanya dibuat dalam bentuk per butir, disusun secara berurutan dan mempunyai kesatuan.

5.    Penutup

Bagian penutup digunakan untuk menerangkan bahwa surat perjanjian dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di hadapan hukum.

6.    Tanda tangan

Terakhir, surat perjanjian disertai dengan tanda tangan dari seluruh pihak yang terlibat, termasuk para saksi.

Senin, 20 Januari 2020

24 JAM MASA KRITIS CALON TERSANGKA


24 JAM MASA KRITIS CALON TERSANGKA

Polisi menangkap seseorang berdasarkan laporan dari masyarakat, maka sebelum penangkapan polisi melakukan pengintaian terhadap ciri-ciri identitas yang di laporkan,
Namun dalam penangkapan sering terjadi salah tangkap terhadap calon tersangka.

Nah dalam waktu 24 jam adalah masa kritis atau masa tenggang buat calon tersangka, dia akan jadi tersangka atau tidak di tentukan saat di *BAP* (Berita Acara Penangkapan)

Dalam masa tenggang 24 jam sebaiknya calon tersangka segera menghubungi seorang ADVOKAT tuk mendampingi BAP di kepolisian agar tidak terjadi salah tangkap, salah ketik, salah barang bukti, dan salah pengakuan tindak pidana


Hal ini untuk menghindari pemaksaan pengakuan terhadap calon tersangka.

Jika saat di BAP bukti-bukti tidak kuat maka bisa bebas dari penangkapan tersebut.
Namun kebanyakan saat di BAP calon tersangka hanya bisa jawab "iya, iya dan iya" karena sudah takut dan grogi duluan, sehingga setelah melewati waktu 24 jam calon tersangka tersebut akhirnya sah menjadi tersangka di kepolisian kmudian di tahan selama 20 hari di kepolisian


Setelah itu dilakukan penyeledikan guna mencari bukti-bukti yang kuat untuk di ajukan ke kejaksaan.

Dalam masa-masa inipun sebaiknya menggunakan jasa ADVOKAT untuk keamanan tersangka, karena bisa saja polisi tidak bisa membuktikan saat melakukan penyidikan dan penyeledikan dalam mencari bukti-bukti dan saksi-saksi


Di kawatirkan pihak kepolisian salah bukti dan saksi-saksi, pada saat-saat seperti ini peran ADVOKAT sangat dibutuhkan agar berkas bisa di teliti cukup atau tidaknya guna lanjut atau tidaknya berkas sampai ke kejaksaan, sehingga tersangka bisa dibebaskan dari tuduhan-tuduhan yang mengarah kepadanya saat masih menjdi tahanan kepolisian setempat.

by
Nurwakhidin S.H.

tag

Jumat, 15 Februari 2019

Pengertian Delik Biasa dan Delik Aduan

delik biasa dan delik aduan, delik, delik biasa, delik aduan, pengertian delik, arti delik, perbedaan delik biasa dan delik aduan

A. Pengertian Tentang Delik

Delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Hukum pidana belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diacam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.

Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.

B. Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan

1. Delik Biasa sering juga disebut Kriminal murni, yaitu semua tindak pidana yang terjadi dan tidak bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi seperti di dalam delik aduan. Misalnya penipuan. Meskipun korban sudah memaafkan atau pelaku mengganti kerugian, proses hukum terus berlanjut sampai vonis karena ini merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut.
Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.

2. Delik Aduan adalah perbuatan pidana yang hanya dapat diproses secara hukum apabila orang yang dirugikan melakukan pengaduan kepada yang berwajib, tanpa pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan karena delik/perbuatan tersebut tidak dapat diproses. Dalam delik aduan suatu aduan dapat ditarik atau dicabut apabila ada perdamaian ataupun kesepakatan antara sipembuat delik dan korban yang dirugikan.

Penarikan aduan atau laporan biasanya terjadi dalam kasus perkosaan di mana si korban merasa malu atau si pelaku mau menikahi korban. Dalam kasus pencurian dalam keluarga atau pisah meja ranjang, biasanya alasan keluarga.

R. Soesilo dalam “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”  membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:
a.     Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya tekadang dilakukan dengan rahasia.

Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.

b.     Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus meminya: “saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.


Kesimpulan Tentang Pengertian Delik


Delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum atau perbuatan yang melanggar aturan hukum, jenis pelanggarannya atau deliknya di bagi dua, yaitu delik biasa dan delik aduan, delik biasa di artikan secara umum adalah kasusnya ada yang mengadu atau tidak ada yang mengadu kasusnya tetap di proses oleh penyidik sedangkan delik aduan di proses hukumnya atau kasusnya karena ada yang mengadu saja dan bisa di tarik atau di cabut aduannya sewaktu-waktu tergantung si pengadu.
Semoga bermanfaat

Rabu, 13 Februari 2019

Hukum Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPerdata


nagih hutang,hukum utang piutang,utang piutang,nagih hutang kaya ngemis,pinjam meminjam,tidak membayar,kredit macet,

Pengertian dan Definisi Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPdt

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3.    Suatu hal tertentu.

4.    Suatu sebab yang halal.


Apakah Penunggak Hutang Dapat di Pidanakan

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:

"Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang."

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Dalam praktiknya, saya acapkali mendengar dan mendapati permasalahan utang-piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?

Akan tetapi ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989:

“Bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”

Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).

Oleh karena itu, menurut hemat saya hal, membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.


Perbuatan Debitur Menakut-Nakuti Kreditur yang Tidak Membayar Utang

Ada seorang debitur untuk menangih kepada kreditur dengan membawa seorang polisi dengan maksud untuk menakut-nakuti si kreditur hal ini sangat bertentangan dengan peraturan disiplin anggota kepolisian negara republik indonesia karena dapat menurunkan martabat kepolisian seolah-olah polisi sebagai penagih utang

Perlu diketahui, dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

a.    Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b.    Melakukan kegiatan politik praktis;

c.    Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

d.    Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;

e.    Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f.     Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;

g.    Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;

h.    Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;

i.     Menjadi perantara/makelar perkara;

j.     Menelantarkan keluarga.


Terhadap masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI.

utang piutang,hukum utang piutang,pidana utang,hukum perdata,nagih utang,nagih hutang dengan polisi,

Melaporkan Orang Lain ke Pihak Berwajib Karena Tidak Membayar Hutang

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.



Kesimpulannya dalam perjanjian utang piutang seseorang tidak bisa di pidanakan karena ketidakmampuan membayarnya

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

5.    Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi:

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Putusan:
Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989

Senin, 11 Februari 2019

Biaya Atau Honor Jasa Advokat


biaya advokat,honor advokat,jasa advokat,bantuan hukum,biaya hukum,biaya sidang,perkara pidana,hukum pidana,hukum perdata,kesepakatan klien,honorarium advokat, sepakat advokat dan klien
Biaya advokat tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak (advokat & klien)


1. Besarnya Honor Atau Jasa Advokat Berdasarkan UU Advokat 
A. Besarnya honorarium advokat, menurut Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (advokat dan klien). Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien (lihat penjelasan Pasal 21 ayat [2] UU Advokat).
Mengenai honorarium, di dalam Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Jadi, tidak ada standar honor atau biaya jasa advokat yang diatur dalam UU Advokat maupun kode etik. Honorarium advokat ditentukan oleh kesepakatan antara advokat dengan pengguna jasa advokat (“klien”).

B. Dalam prakteknya, menurut Binoto Nadapdap dalam buku “Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat”, untuk menentukan besaran honorarium advokat dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode:
  • Penentuan secara kontijensi, dan
  • Berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.

2. Biaya Atau Honor Jasa  Advokat Menurut Binoto
 
Sekarang, masih menurut Binoto, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).
Dalam buku tersebut Binoto juga menulis antara lain bahwa salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium. Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin.
Sedikit gambaran mengenai komponen-komponen biaya atau honor jasa advokat  dapat disimak dalam buku “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi” yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Pada halaman 315 buku tersebut ditulis antara lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut:
  1. Honorarium advokat;
  2. Biaya transport;
  3. Biaya akomodasi;
  4. Biaya perkara;
  5. Biaya sidang; dan
  6. Biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.

Jadi, terkait dengan perhitungan honorarium advokat ini memang sepenuhnya bergantung pada kesepakatan antara klien dan advokatnya, termasuk terkait dengan waktu pembayarannya, apakah akan dibayarkan sebelum atau sesudah perkara diputus. Yang penting adalah klien berhak meminta informasi secara terbuka dari advokat mengenai perhitungan honorarium, komponen-komponennya dan cara pembayarannya.


3. Lamanya Putusan Kasasi Menjadi Kewenangan Mahkamah Agung

C.  Mengenai berapa lama putusan kasasi diputus oleh Majelis Hakim tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) dalam memberikan putusan.

D. Putusan kasasi diucapkan oleh MA dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) dan akan dikirimkan oleh MA kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang sebelumnya memutus perkara tersebut. Selanjutnya, atas perintah Ketua PN, jurusita PN yang bersangkutan memberitahukan putusan tersebut kepada para pihak yang berperkara selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan diterima oleh PN tersebut. Demikian diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UUMA. yang telah diubah sebagian dalam (Perubahan Pertama) dan (Perubahan Kedua) tentang Mahkamah Agung.

Dengan demikian putusan tersebut akan disampaikan kepada para pihak tanpa para pihak harus memintanya. Putusan-putusan MA ini juga dapat diakses dari situs MA yaitu di http://putusan.mahkamahagung.go.id/.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.

Demikian Uraian Singkat mengenai biaya atau honor jasa advokat, semua tergantung kesepakatan antara klien dan advokat, kesimpulannya biaya advokat tergantung kesepakatan dua belah pihak
Semoga Bermanfaat

Jumat, 08 Februari 2019

Hukum Memasuki Pekarangan Orang Tanpa Izin

memasuki pekarangan orang tanpa izin, pekarangan orang, memasuki rumah orang lain tanpa izin,memasuki ruangan orang lain tanpa izin
A. Memasuki Pekarangan Orang lain Tanpa Izin Pasal 167 (1) KUHP
 Seringkali masyarakat awam tidak mengetahui tentang pidana memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yang tertera di pasal 167 ayat (1) KUHP, karena masyarakat kita budayanya ketimuran yaitu budaya sopan santun,gotong royong dan saling percaya antar sesama, namun perkembangan zaman menuntut perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, karena banyak kejahatan yang timbul akibat longgarnya aturan-aturan dan budaya di masyarakat kita, berikut bunyi pasal 167 ayat (1) KUHP

“Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini biasanya disebut “huisvredebreuk” yang berarti pelanggaran hak kebebasan rumah tangga.


Lebih lanjut, dijelaskan bahwa perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah:

1.    Dengan melawan hak masuk dengan paksa ke dalam rumah, ruangan tertutup, dan sebagainya;

2.    Dengan melawan hak berada di rumah, ruangan tertutup, dan sebagainya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak.


R. Soesilo mengatakan “masuk begitu saja” belum berarti “masuk dengan paksa”. Yang artinya “masuk dengan paksa” ialah “masuk dengan melawan kehendak yang dinyatakan lebih dahulu dari orang yang berhak”.
Pernyataan kehendak ini bisa terjadi dengan jalan rupa-rupa, misalnya: dengan perkataan, dengan perbuatan, dengan tanda tulisan “dilarang masuk” atau tanda-tanda lain yang sama artinya dan dapat dimengerti oleh orang di daerah itu. Pintu pagar atau pintu rumah yang hanya ditutup begitu saja itu belum berarti bahwa orang tidak boleh masuk. Apabila pintu itu “dikunci” dengan kunci atau alat pengunci lain atau ditempel dengan tulisan “dilarang masuk”, maka barulah berarti bahwa orang tidak boleh masuk di tempat tersebut. Seorang penagih utang, penjual sayuran, pengemis dan lain-lain yang masuk ke dalam pekarangan atau rumah orang yang tidak memakai tanda “dilarang masuk” atau pintu yang dikunci itu belum berarti “masuk dengan paksa”, dan tidak dapat dihukum. Akan tetapi jika kemudian orang yang berhak lalu menuntut supaya mereka itu pergi, mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut. Jika tuntutan itu diulangi sampai tiga kali tidak pula diindahkan, maka mereka itu sudah dapat dihukum.


Jadi jika kehendak awal dari si pemilik rumah adalah memperbolehkan si pemegang kunci masuk jika terjadi sesuatu dan tidak ada orang di rumah, maka selain dari hal tersebut, si pemegang kunci tidak berhak untuk masuk ke dalam rumah itu. 

memasuki pekarangan orang lain tanpa izin, memasuki rumah orang tanpa izin, memasuki ruangan orang lain tanpa izin,

B. Hukuman Atau Pidana Memasuki Pekarangan Tanpa Izin
Hukuman atau pidana bagi orang yang melakukan perbuatan memasuki pekarangan orang lain pasal 167 ayat (1) KUHP yaitu penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak 4500, untuk itu jika seseorang ingin berkunjung atau bertamu ke teman,saudara atau keluarga harap mengetuk pintu atau sudah janjian terlebih dahulu supaya tidak terjerat kasusu seperti ini 

Di kampung-kampung masih banyak pekarangan atau kebon yang luas dan seringkali pekarangan tersebut adalah pekarangan yang tidak terawat bahkan telantar dan tidak terdapat pagar untuk melindungi pekarangan tersebut, jika hal ini terjadi maka siapapun yang memasuki area tersebut tidak di katakan memasuki pekarangan orang karena si pemilik tidak memberi pagar sebagai tanda area yang tidak boleh di masuki orang lain. 

Secara garis besar kesimpulan daripada pidana pasal 167 ayat (1) KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yaitu pekarangan,ruangan atau rumah yang ada tanda atau pemberitahuan di larang masuk

Senin, 04 Februari 2019

Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 s/d 367 KUHP

pencurian,tindak pidana pencurian,pasal 362 KUHP,pasal 362 s/d 367 KUHP,
A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 s/d 367 KUHP
Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Bukum Kedua KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Mengenai tindak pidana pencurian ini ada salah satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan, khususnya yang diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian secara umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : https://mysexyzero.blogspot.com

”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5 (lima) macam pencurian :

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)
Perumusan pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut :

    Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur :
    a) mengambil;
    b) suatu barang;
    c) yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
    Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :
    a) dengan maksud;
    b) untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;
    c) secara melawan hukum

2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
Istilah ”pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal disebut sebagai ”pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.

Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan  harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP,   maka unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah :

1.Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP
2. Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi:
  1. Pencurian ternak  (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP);
  2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP);
  3. Pencurian di waktu waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP);d.Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
  4. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).

3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan. Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP yang menyatakan :
”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-unsur dalam pencurian ringan adalah :

  1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);
  2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
  3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
  4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
  5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang  ada rumahnya; dan
  6. Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.

4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut dengan istilah ”pencurian dengan kekerasan” atau populer dengan istilah ”curas”. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut :

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
  2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
    ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan    ke-2 jika perbuatan  dilakukan  oleh dua  orang  atau lebih dengan bersekutu;
    ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian seragam palsu;
    ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
  3. Jika perbuatan mengakibatkanmati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  4. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam point 1 dan 3.

5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)
Pencurian sebagaimana diatur  dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih  dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda isteri atau suaminya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila  suami isteri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat  dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai anggota keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan.

tindak pidana pencurian,pasal 362 KUHP,pencurian pasal 362 KUHP,

B.Tindak Pidana Pencurian dan Hukuman-Hukumannya
  1. Pencurian biasa Pasal 362 hukumannya Penjara paling Lama 5 tahun
  2. pencurian dengan pemberatan Pasal 363 hukumannya Penjara Lebih dari 5 tahun
  3. Pencurian ringan Pasal 364 hukumannya Penjara paling lama 3 bulan 
  4. Pencurian dengan kekerasan Pasal 365 hukumannya penjara paling lama rata-rata 9 tahun ke atas
  5. Pencurian dalam keluarga Pasal 367 hukumannya tidak ada kecuali pencurian tersebut di bantu oleh orang lain maka pencuriaan tersebut kembali kepasal 363-365
Demikian penjelasan-penjelasan tentang tindak pidana pencurian, semoga artikel tersebut bermanfaat