Rabu, 13 Februari 2019

Hukum Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPerdata


nagih hutang,hukum utang piutang,utang piutang,nagih hutang kaya ngemis,pinjam meminjam,tidak membayar,kredit macet,

Pengertian dan Definisi Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPdt

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3.    Suatu hal tertentu.

4.    Suatu sebab yang halal.


Apakah Penunggak Hutang Dapat di Pidanakan

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:

"Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang."

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Dalam praktiknya, saya acapkali mendengar dan mendapati permasalahan utang-piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?

Akan tetapi ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989:

“Bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”

Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).

Oleh karena itu, menurut hemat saya hal, membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.


Perbuatan Debitur Menakut-Nakuti Kreditur yang Tidak Membayar Utang

Ada seorang debitur untuk menangih kepada kreditur dengan membawa seorang polisi dengan maksud untuk menakut-nakuti si kreditur hal ini sangat bertentangan dengan peraturan disiplin anggota kepolisian negara republik indonesia karena dapat menurunkan martabat kepolisian seolah-olah polisi sebagai penagih utang

Perlu diketahui, dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

a.    Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b.    Melakukan kegiatan politik praktis;

c.    Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

d.    Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;

e.    Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f.     Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;

g.    Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;

h.    Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;

i.     Menjadi perantara/makelar perkara;

j.     Menelantarkan keluarga.


Terhadap masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI.

utang piutang,hukum utang piutang,pidana utang,hukum perdata,nagih utang,nagih hutang dengan polisi,

Melaporkan Orang Lain ke Pihak Berwajib Karena Tidak Membayar Hutang

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.



Kesimpulannya dalam perjanjian utang piutang seseorang tidak bisa di pidanakan karena ketidakmampuan membayarnya

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

5.    Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi:

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Putusan:
Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar