Jumat, 15 Februari 2019

Pengertian Delik Biasa dan Delik Aduan

delik biasa dan delik aduan, delik, delik biasa, delik aduan, pengertian delik, arti delik, perbedaan delik biasa dan delik aduan

A. Pengertian Tentang Delik

Delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Hukum pidana belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diacam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.

Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.

B. Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan

1. Delik Biasa sering juga disebut Kriminal murni, yaitu semua tindak pidana yang terjadi dan tidak bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi seperti di dalam delik aduan. Misalnya penipuan. Meskipun korban sudah memaafkan atau pelaku mengganti kerugian, proses hukum terus berlanjut sampai vonis karena ini merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut.
Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.

2. Delik Aduan adalah perbuatan pidana yang hanya dapat diproses secara hukum apabila orang yang dirugikan melakukan pengaduan kepada yang berwajib, tanpa pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan karena delik/perbuatan tersebut tidak dapat diproses. Dalam delik aduan suatu aduan dapat ditarik atau dicabut apabila ada perdamaian ataupun kesepakatan antara sipembuat delik dan korban yang dirugikan.

Penarikan aduan atau laporan biasanya terjadi dalam kasus perkosaan di mana si korban merasa malu atau si pelaku mau menikahi korban. Dalam kasus pencurian dalam keluarga atau pisah meja ranjang, biasanya alasan keluarga.

R. Soesilo dalam “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”  membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:
a.     Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya tekadang dilakukan dengan rahasia.

Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.

b.     Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus meminya: “saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.


Kesimpulan Tentang Pengertian Delik


Delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum atau perbuatan yang melanggar aturan hukum, jenis pelanggarannya atau deliknya di bagi dua, yaitu delik biasa dan delik aduan, delik biasa di artikan secara umum adalah kasusnya ada yang mengadu atau tidak ada yang mengadu kasusnya tetap di proses oleh penyidik sedangkan delik aduan di proses hukumnya atau kasusnya karena ada yang mengadu saja dan bisa di tarik atau di cabut aduannya sewaktu-waktu tergantung si pengadu.
Semoga bermanfaat

Rabu, 13 Februari 2019

Hukum Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPerdata


nagih hutang,hukum utang piutang,utang piutang,nagih hutang kaya ngemis,pinjam meminjam,tidak membayar,kredit macet,

Pengertian dan Definisi Perjanjian Utang Piutang Menurut KUHPdt

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3.    Suatu hal tertentu.

4.    Suatu sebab yang halal.


Apakah Penunggak Hutang Dapat di Pidanakan

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:

"Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang."

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Dalam praktiknya, saya acapkali mendengar dan mendapati permasalahan utang-piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?

Akan tetapi ada pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989:

“Bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”

Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).

Oleh karena itu, menurut hemat saya hal, membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.


Perbuatan Debitur Menakut-Nakuti Kreditur yang Tidak Membayar Utang

Ada seorang debitur untuk menangih kepada kreditur dengan membawa seorang polisi dengan maksud untuk menakut-nakuti si kreditur hal ini sangat bertentangan dengan peraturan disiplin anggota kepolisian negara republik indonesia karena dapat menurunkan martabat kepolisian seolah-olah polisi sebagai penagih utang

Perlu diketahui, dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:

a.    Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b.    Melakukan kegiatan politik praktis;

c.    Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

d.    Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;

e.    Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f.     Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;

g.    Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;

h.    Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;

i.     Menjadi perantara/makelar perkara;

j.     Menelantarkan keluarga.


Terhadap masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI.

utang piutang,hukum utang piutang,pidana utang,hukum perdata,nagih utang,nagih hutang dengan polisi,

Melaporkan Orang Lain ke Pihak Berwajib Karena Tidak Membayar Hutang

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.



Kesimpulannya dalam perjanjian utang piutang seseorang tidak bisa di pidanakan karena ketidakmampuan membayarnya

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4.    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

5.    Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi:

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Putusan:
Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989

Senin, 11 Februari 2019

Biaya Atau Honor Jasa Advokat


biaya advokat,honor advokat,jasa advokat,bantuan hukum,biaya hukum,biaya sidang,perkara pidana,hukum pidana,hukum perdata,kesepakatan klien,honorarium advokat, sepakat advokat dan klien
Biaya advokat tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak (advokat & klien)


1. Besarnya Honor Atau Jasa Advokat Berdasarkan UU Advokat 
A. Besarnya honorarium advokat, menurut Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (advokat dan klien). Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien (lihat penjelasan Pasal 21 ayat [2] UU Advokat).
Mengenai honorarium, di dalam Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Jadi, tidak ada standar honor atau biaya jasa advokat yang diatur dalam UU Advokat maupun kode etik. Honorarium advokat ditentukan oleh kesepakatan antara advokat dengan pengguna jasa advokat (“klien”).

B. Dalam prakteknya, menurut Binoto Nadapdap dalam buku “Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat”, untuk menentukan besaran honorarium advokat dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode:
  • Penentuan secara kontijensi, dan
  • Berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.

2. Biaya Atau Honor Jasa  Advokat Menurut Binoto
 
Sekarang, masih menurut Binoto, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).
Dalam buku tersebut Binoto juga menulis antara lain bahwa salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium. Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin.
Sedikit gambaran mengenai komponen-komponen biaya atau honor jasa advokat  dapat disimak dalam buku “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi” yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Pada halaman 315 buku tersebut ditulis antara lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut:
  1. Honorarium advokat;
  2. Biaya transport;
  3. Biaya akomodasi;
  4. Biaya perkara;
  5. Biaya sidang; dan
  6. Biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.

Jadi, terkait dengan perhitungan honorarium advokat ini memang sepenuhnya bergantung pada kesepakatan antara klien dan advokatnya, termasuk terkait dengan waktu pembayarannya, apakah akan dibayarkan sebelum atau sesudah perkara diputus. Yang penting adalah klien berhak meminta informasi secara terbuka dari advokat mengenai perhitungan honorarium, komponen-komponennya dan cara pembayarannya.


3. Lamanya Putusan Kasasi Menjadi Kewenangan Mahkamah Agung

C.  Mengenai berapa lama putusan kasasi diputus oleh Majelis Hakim tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) dalam memberikan putusan.

D. Putusan kasasi diucapkan oleh MA dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) dan akan dikirimkan oleh MA kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang sebelumnya memutus perkara tersebut. Selanjutnya, atas perintah Ketua PN, jurusita PN yang bersangkutan memberitahukan putusan tersebut kepada para pihak yang berperkara selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan diterima oleh PN tersebut. Demikian diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UUMA. yang telah diubah sebagian dalam (Perubahan Pertama) dan (Perubahan Kedua) tentang Mahkamah Agung.

Dengan demikian putusan tersebut akan disampaikan kepada para pihak tanpa para pihak harus memintanya. Putusan-putusan MA ini juga dapat diakses dari situs MA yaitu di http://putusan.mahkamahagung.go.id/.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.

Demikian Uraian Singkat mengenai biaya atau honor jasa advokat, semua tergantung kesepakatan antara klien dan advokat, kesimpulannya biaya advokat tergantung kesepakatan dua belah pihak
Semoga Bermanfaat

Jumat, 08 Februari 2019

Hukum Memasuki Pekarangan Orang Tanpa Izin

memasuki pekarangan orang tanpa izin, pekarangan orang, memasuki rumah orang lain tanpa izin,memasuki ruangan orang lain tanpa izin
A. Memasuki Pekarangan Orang lain Tanpa Izin Pasal 167 (1) KUHP
 Seringkali masyarakat awam tidak mengetahui tentang pidana memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yang tertera di pasal 167 ayat (1) KUHP, karena masyarakat kita budayanya ketimuran yaitu budaya sopan santun,gotong royong dan saling percaya antar sesama, namun perkembangan zaman menuntut perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, karena banyak kejahatan yang timbul akibat longgarnya aturan-aturan dan budaya di masyarakat kita, berikut bunyi pasal 167 ayat (1) KUHP

“Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini biasanya disebut “huisvredebreuk” yang berarti pelanggaran hak kebebasan rumah tangga.


Lebih lanjut, dijelaskan bahwa perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah:

1.    Dengan melawan hak masuk dengan paksa ke dalam rumah, ruangan tertutup, dan sebagainya;

2.    Dengan melawan hak berada di rumah, ruangan tertutup, dan sebagainya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak.


R. Soesilo mengatakan “masuk begitu saja” belum berarti “masuk dengan paksa”. Yang artinya “masuk dengan paksa” ialah “masuk dengan melawan kehendak yang dinyatakan lebih dahulu dari orang yang berhak”.
Pernyataan kehendak ini bisa terjadi dengan jalan rupa-rupa, misalnya: dengan perkataan, dengan perbuatan, dengan tanda tulisan “dilarang masuk” atau tanda-tanda lain yang sama artinya dan dapat dimengerti oleh orang di daerah itu. Pintu pagar atau pintu rumah yang hanya ditutup begitu saja itu belum berarti bahwa orang tidak boleh masuk. Apabila pintu itu “dikunci” dengan kunci atau alat pengunci lain atau ditempel dengan tulisan “dilarang masuk”, maka barulah berarti bahwa orang tidak boleh masuk di tempat tersebut. Seorang penagih utang, penjual sayuran, pengemis dan lain-lain yang masuk ke dalam pekarangan atau rumah orang yang tidak memakai tanda “dilarang masuk” atau pintu yang dikunci itu belum berarti “masuk dengan paksa”, dan tidak dapat dihukum. Akan tetapi jika kemudian orang yang berhak lalu menuntut supaya mereka itu pergi, mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut. Jika tuntutan itu diulangi sampai tiga kali tidak pula diindahkan, maka mereka itu sudah dapat dihukum.


Jadi jika kehendak awal dari si pemilik rumah adalah memperbolehkan si pemegang kunci masuk jika terjadi sesuatu dan tidak ada orang di rumah, maka selain dari hal tersebut, si pemegang kunci tidak berhak untuk masuk ke dalam rumah itu. 

memasuki pekarangan orang lain tanpa izin, memasuki rumah orang tanpa izin, memasuki ruangan orang lain tanpa izin,

B. Hukuman Atau Pidana Memasuki Pekarangan Tanpa Izin
Hukuman atau pidana bagi orang yang melakukan perbuatan memasuki pekarangan orang lain pasal 167 ayat (1) KUHP yaitu penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak 4500, untuk itu jika seseorang ingin berkunjung atau bertamu ke teman,saudara atau keluarga harap mengetuk pintu atau sudah janjian terlebih dahulu supaya tidak terjerat kasusu seperti ini 

Di kampung-kampung masih banyak pekarangan atau kebon yang luas dan seringkali pekarangan tersebut adalah pekarangan yang tidak terawat bahkan telantar dan tidak terdapat pagar untuk melindungi pekarangan tersebut, jika hal ini terjadi maka siapapun yang memasuki area tersebut tidak di katakan memasuki pekarangan orang karena si pemilik tidak memberi pagar sebagai tanda area yang tidak boleh di masuki orang lain. 

Secara garis besar kesimpulan daripada pidana pasal 167 ayat (1) KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin yaitu pekarangan,ruangan atau rumah yang ada tanda atau pemberitahuan di larang masuk

Senin, 04 Februari 2019

Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 s/d 367 KUHP

pencurian,tindak pidana pencurian,pasal 362 KUHP,pasal 362 s/d 367 KUHP,
A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 s/d 367 KUHP
Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Bukum Kedua KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Mengenai tindak pidana pencurian ini ada salah satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan, khususnya yang diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian secara umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : https://mysexyzero.blogspot.com

”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5 (lima) macam pencurian :

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)
Perumusan pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut :

    Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur :
    a) mengambil;
    b) suatu barang;
    c) yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
    Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :
    a) dengan maksud;
    b) untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;
    c) secara melawan hukum

2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
Istilah ”pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal disebut sebagai ”pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.

Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan  harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP,   maka unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah :

1.Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP
2. Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi:
  1. Pencurian ternak  (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP);
  2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP);
  3. Pencurian di waktu waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP);d.Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
  4. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).

3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan. Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP yang menyatakan :
”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-unsur dalam pencurian ringan adalah :

  1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);
  2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
  3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
  4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
  5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang  ada rumahnya; dan
  6. Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.

4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut dengan istilah ”pencurian dengan kekerasan” atau populer dengan istilah ”curas”. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut :

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
  2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
    ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan    ke-2 jika perbuatan  dilakukan  oleh dua  orang  atau lebih dengan bersekutu;
    ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian seragam palsu;
    ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
  3. Jika perbuatan mengakibatkanmati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  4. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam point 1 dan 3.

5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)
Pencurian sebagaimana diatur  dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih  dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda isteri atau suaminya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila  suami isteri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat  dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai anggota keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan.

tindak pidana pencurian,pasal 362 KUHP,pencurian pasal 362 KUHP,

B.Tindak Pidana Pencurian dan Hukuman-Hukumannya
  1. Pencurian biasa Pasal 362 hukumannya Penjara paling Lama 5 tahun
  2. pencurian dengan pemberatan Pasal 363 hukumannya Penjara Lebih dari 5 tahun
  3. Pencurian ringan Pasal 364 hukumannya Penjara paling lama 3 bulan 
  4. Pencurian dengan kekerasan Pasal 365 hukumannya penjara paling lama rata-rata 9 tahun ke atas
  5. Pencurian dalam keluarga Pasal 367 hukumannya tidak ada kecuali pencurian tersebut di bantu oleh orang lain maka pencuriaan tersebut kembali kepasal 363-365
Demikian penjelasan-penjelasan tentang tindak pidana pencurian, semoga artikel tersebut bermanfaat

Jumat, 01 Februari 2019

Pasal 480 KUHP Tentang Penadahan

penadahan pasal 480 KUHP, penadahan,pasal 480, penadahan berencana, sekongkol,pencurian
Penjelasan-Penjelasan Pasal 480 KUHP Tentang Penadahan

Dalam Pasal 480 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) disebutkan:
”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah:

Ke-1.
Karena bersalah menadah, barangsiapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai,  menerima sebagai hadiah  atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan;

Ke-II.
Barangsiapa mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan”;

Penjelasan :
1. Yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah”, dalam bahasa asing “heling”, itu sebenarnya hanya perbuatan yang sebutkan pada sub 1 dari pasal ini.

2. Pebuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian ialah :
a. Membeli, menyewa dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan : Misalnya A membeli sebuah arloji dari B yang diketahuinya, bahwa barang itu asal dari curian. Disini tidak perlu dibuktikan, bahwa A dengan membeli arloji itu hendak mencari untung ;
b. Menjual, menukarkan, mengadaikan, dsb. Dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut diketauinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan ; Misalnya A yang mengetahui, bahwa arloji asal dari curian, disuruh oleh B (Pemegang arlorji itu) menggadaikan arloji itu ke rumah gadai dengan menerima upah.
Selain dari pada itu dihukum pula menurut pasal ini (sub 2) ialah : orang yang mengambil keuntungan dari hasil suatu barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh dari hasil kejahatan. Sebenarnya yang tersebut dalam sub 2 ini bukan “sekongkol”
“hasil” barang asal dari kejahatan = misalnya A mencuri arloji, kemudian dijual laku Rp.150, : Arloji adalah barang asal dari kejahatan.

3. Elemen penting dari pasal ini ialah :
Terdakwa harus mengetahui atau patut diketahui atau patut menyangka, bahwa barang itu asal dari kejahatan = disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasaan, uang palsu, atau lain2) akan tetapi sudah cukup apa bila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu barang “gelap” bukan barang “terang”. Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan dibawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran ditempat itu memang mencurigakan.

4. “Barang asal dari kejahatan” = misalnya asal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol dll. Asal dari pelanggaran, tidak masuk disini. Barang asal dari kejahatan itu dapat dibagi atas dua macam yang sifatnya amat berlainan, ialah :
a. Barang yang didapat dari kejahatan, misalnya barang2 hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasaan. Barang2 ini keadaanya adalah sama aja dengan barang-barang lain yang bukan asal kejahatan tersebut. Dapat diketahuinya, bahwa barang-barang itu asal dari kejahatan atau bukan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya berpindah tangan, dan
b. Barang yang terjadi karena telah dilakukan suatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, diploma palsu, dll. Barang2 ini rupa dan keadaannya berlainan dengan barang2 tersebut yang tidak palsu.

Sekarang sifat barang pada sub a adalah berlainan dengan sifat barang tersebut pada sub b.
Sifat “asal dari kejahatan” yang melekat pada barang tersebutpada sub a adalah tidak kekal (tidak selama-lamanya), artinya apabila barang tersebut telah diterima oleh orang secara beritikad baik (ter goedertrouw), maka sifatnya “asal dari kejahatan” itu menjadi hilang, dan jika sejak waktu itu barang tersebut dibeli dsb, meskipun yang membeli dsb. Itu mengetahui benar2, bahwa asal barang tersebut dari kejahatan, namun si pembeli tidak dapat dihukum karena sekongkol, sebab elemen “asal dari kejahatan” tidak ada :

Misalnya A mencuri sebuah arloji, kemudian digadaikannya dirumah gadai sampai lewat waktunya tidak ditebus (diambil), sehingga barang itu menjadi bur (gugur, daluawarsa) dan seperti biasanya terus dijual lelang oleh pengurus rumah gadai tersebut. Dalam lelangan itu arloji dibeli oleh B, teman si A, yang mengetahui benar2 tentang asal-asul barang itu. Disini B sebenarnya telah membeli barang yang diketahui asal dari kejahatan, akan tetapi tidak dikenakan pasal 480, oleh karena sebab telah diterimanya oleh rumah gadai dengan itikad baik itu, maka sifat “asal dari kejahatan” dari arloji tersebut sudah menjadi hilang.

Sebaliknya dari barang yang tersebut sub a, maka sifat “asal dari kejahatan” yang melekat dari barang2 yang tersebut pada sub itu adalah kekal (tetap untuk selama-lamanya), artinya barang2 itu bagaimana pun juga keadaanya, senantiasa tetap dan terus menerus dipandang, sebagai barang asaldari kejahatan dan apabila diketahui asal-usulnya tidak bisa dibeli, disimpan, diterima, sebagai hadiah dsb. Tanpa kena hukuman, misalnya orang menerima uang palsu sebagai hadiah, bila ia mengetahui tentang kepalsuan uang itu, senantiasa dapat dihukum. Uang palsu, diploma palsu dsb. Senantiasa wajib diserahkan pada polisi untuk diusut atau kemudian dirusak untuk menjaga jangan sampai dipergunakan orang.

5.     Dicatat disini, bahwa pasal 367 tidak berlaku bagi sekongkol, sehingga sekongkol tidak pernah menjadi delik aduan. Ini berakibat, bahwa bila A mencuri barang milik bapanya dan barang itu ditadah (sekongkol) oleh B (saudara A), maka berdasar pasal 367 bapak itu dapat meniadakan tuntutan pidana terhadap A, anaknya yang mencuri itu, akan tetapi tidak  demikian halnya terhadap B, anaknya yang berbuat sekongkol.

*) Sumber R. SOESILO

 
Tips-Tips Supaya Tidak Terjerat Kasus Penadahan 480 KUHP

Untuk menghindari pasal 480 KUHP tentang Penadahan yakni :
1. Selalu mengetahui asal-usul, sejarah kepemilikan barang tersebut atau penjual dapat dipercayai untuk menjual barang tersebut.
2. Hindarin membeli barang atau curigai barang-barang yang dibawah harga normal atau rata-rata harga pasaran.

Semoga artikel tentang pasal 480 KUHP tentang penadahan ini  Bermanfaat

Jumat, 25 Januari 2019

Asas-Asas Pemilu Indonesia

Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia Menganut Beberapa Asas

asas asas pemilu, luberjurdil,pemilu,kampanye,pidato kampanye,kpps,tps,dpt,kotak suara,konstituen,relawan,politik

Pemilu adalah salah satu ciri khas yang selalu ada dalam negara demokrasi. Dalam mewujudkan pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, pemilu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya kecurangan yang dapat menimbulkan perselisihan.

Pemilihan umum adalah sebuah proses pemilihan pemimpin dalam suatu wilayah tertetu dalam masa jabatan tertentu pula. Pemilu yang umum  dilakukan seperti pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan pemilihan wakil rakyat legisatif.  Pemilihan umum diselenggarakan dalam rangka mewujudkan gagasan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya serta dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan demokrasi yang dianut oleh negara. Karena rakyat tidak mungkin memerintah negara secara langsung, oleh karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mewakili  suara rakyat yang berada di bawah dalam menjalankan roda pemerintahan suatu negara selama jangka waktu yang telah ditentukan.

Setelah amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2002 pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), yang pada awalnya dipilih oleh MPR, Kemudian disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu tahun 2004 silam.

Selain itu, UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 Pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu yang dilakukan setiap 5 tahun sekali selama satu masa jabatan. Selain itu, pemilu juga dilakukan untuk memilih anggota legislatif.

Asas-Asas Pemilihan Umum di Indonesia
Dalam pelaksanaan pemilu yang partisipatif terdapat asas-asas pemilu yang harus dilaksanakan dengan optimal supaya pemilu berjalan dengan lancar berikut asas-asas pemilu di indonesia antara lain:

1. Langsung

    Pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, tidak boleh diwakilkan. Hal ini dilakukan demi mengurangi resiko kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pemilu berasaskan “langsung” juga berfungsi sebagai media edukasi politik partisipatif bagi masyarakat. Dengan adanya pemilu langsung ini dapat meminimalisir masyarakat supaya tidak golput/apatis. Pendidikan politik yang baik melalui pemilu dapat meningkatkan peran masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis

2. Umum

    Pemilu bersifat umum, yaitu pemilihan umum dapat diikuti oleh seluruh warga negara yang telah memiliki hak menggunakan suara tanpa terkecuali. Semua warga negara yang hidup dalam lingkungan negara yang menganut sistem demokrasi pemilihanumum bukanlah hal yang tabu, oleh karena itu pemilhan umum dilaksanakan oleh seluruh warga negara yang telah memiliki hak pilih. Suara yang dimilikin oleh pemilih bersifat rahasia, artinya tidak boleh diumbar apalagi diumumkan kepada orang lain.

3. Bebas

    Dalam praktek sistem demokrasi dengan masyarakat yang partisipan, pemilihan umum dilaksanakan secara bebas. Dalam hal ini berarti, pemilu dilakukan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Pemilih bebas memilih calon pemimpin terbaik menurut mereka tanpa adanya intervensi dari orang lain. Hal ini merupakan hak yang sangat dilindungi dalam masyarakat demokrasi karena satu suara saja akan sangat berpengaruh dalam hasil pemilu.

4. Rahasia
    Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia dan tertutup dan tidak boleh diketahui oleh pihak manapun kecuali si pemilih itu sendiri. Pentingnya pemilu berasas rahasia adalah untuk menghindari konflik karena berbeda pendapat anatara pemilih satu dengan pemilih lain. Selain itu, pemilu bersifat privasi bagi seorang pemilih karena menentukan pilihan tidak boleh ada campur tangan dari siapa pun.

5.  Jujur

    Asas jujur dalam pemilu artinya bahwa pemilu yang baik dan berdasarkan demokrasi adalah dengan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pemilih dalam pemilu benar-benar menggunakan hak suaranya dalam memilih pemimpin. Karena satu suara sangat menentukan hasil pemilu. Tanpa adanya asas “jujur” dalam pemilu, pesta demokrasi yang partisipatif tidak akan berjalan dengan baik.

6.  Adil

    Asas adil dalam pemilu adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih. Asas yang adil harus dilaksanakan sebaik-baiknya supaya tidak ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Asas yang adil ini tidak hanya unruk peserta pemilu dan pemilih, namun juga untuk penyelenggara pemilu.

Asas-Asas Pemilu Menentukan Ketertiban Jalannya Pemilihan Umum

Jika ke enam asas tersebut benar-benar berjalan dengan baik, maka penyelenggaraan pemilu pun akan berjalan dengan lancar. Sehingga pesta demokrasi yang di dambakan rakyat benar-benar terwujud demi membangun bangsa yang sejahtera adil dan makmur.

pemilu,kampanye,asas asas pemilu, 6 asas pemilu, luberjurdil,tps,dpt,kpps,bawaslu,panwaslu

Nah, dari beberapa penjelasan di atas kita dapat mengetahui mengenai asas Pemilu. Demikianlah asas-asas Pemilu yang sering di singkat (LUBERJURDIL). Sekian yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini, semoga dapat membantu anda dalam memberikan informasi.
Semoga bermanfaat

Sabtu, 19 Januari 2019

Hukum Tindak Pidana Penipuan Pasal 378 KUHP

Tindak Pidana Penipuan dan Bentuk-Bentuknya

hukum penipuan,tindak pidana penipuan, hukum tindak pidana penipuan,penipuan online,penipu nyasar,pasal penipuan,pasal 378 KUHP,bentuk penipuan
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan terhadap harta benda. Dalam arti yang luas tindak pidana ini sering disebut bedrog. Di dalam KUHP, bedrog diatur dalam bab XXV pasal 378 sampai dengan 395. Dalam rentang pasal-pasal tersebut, bedrog kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus.Bentuk-Bentuk Penipuan, Unsur, dan Akibat Hukumnya

Adapun secara lebih detail, bentuk-bentuk penipuan tersebut adalah seperti yang tersaji dalam pembahasan berikut.

1. Penipuan Pokok
Menurut pasal 378 KUHP penipuan adalah barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik menggunakan nama palsu atau keadaan palsu, maupun dengan tipu daya, ataupun dengan rangkaian perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya menyerahkan barang atau supaya membuat utang atau menghapus piutang.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulakan bahwa dalam penipuan tidak menggunakan paksaan akan tetapi dengan tipu muslihat seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut bertindak tanpa kesadaran penuh.
Unsur-unsur penipuan pokok tersebut dapat dirumuskan:
a. Unsur-unsur objektif:
1. perbuatan: menggerakkan atau membujuk;
2. yang digerakkan: orang
3. perbuatan tersebut bertujuan agar:
a) Orang lain menyerahkan suatu benda;
b) Orang lain memberi hutang; dan
c) Orang lain menghapuskan piutang.
4. Menggerakkan tersebut dengan memakai:
a) Nama palsu;
b) Tipu muslihat,
c) Martabat palsu; dan
d) Rangkaian kebohongan.
b. Unsur-unsur subjektif:
1. Dengan maksud (met het oogmerk);
2. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
3. Dengan melawan hukum.

2. Penipuan Ringan
Penipuan ringan telah dirumuskan dalam pasal 379 KUHP yang berbunyi:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang diserahkan itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang atau piutang itu tidak lebih dari Rp. 250,00 dikenai sebagai penipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900,00

Dalam masyarakat kita binatang ternak dianggap mempunyai nilai yang lebih khusus, sehingga mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi dari binatang lainnya. Akan tetapi, apabila nilai binatang ternak tersebut kurang dari Rp. 250, 00,- maka bukan berarti penipuan ringan.
Adapun yang dimaksud hewan menurut pasal 101 yaitu:
- Binatang yang berkuku satu: kuda, keledai dan sebagainya.
- Binatang yang memamah biak: sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya.
Sedangkan harimau, anjing dan kucing bukan merupakan hewan yang dimaksud dalam pasal ini.

Unsur-unsur penipuan ringan adalah:
a. Semua unsur yang merupakan unsure pada pasal 378 KUHP
b. Unsur-unsur khusus, yaitu:
1. benda objek bukan ternak;
2. nilainya tidak lebih dari Rp. 250, 00-
Selain penipuan ringan yang terdapat menurut pasal 379 di atas, juga terdapat pada pasal 384 dengan dinamakan (bedrog) penipuan ringan tentang perbuatan curang oleh seorang penjual terhadap pembeli adalah dengan rumusan:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383 dikenai pidana paling lama 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 900,00- jika jumlah keuntungan tidak lebih dari Rp. 250.00.

3. Penipuan dalam Jual Beli.
Penipuan dalam hal jual beli digolongkan menjadi 2 bentuk, yaitu; penipuan yang dilakukan oleh pembeli yang diatur dalam pasal 379a dan kejahatan yang dilakukan oleh penjual yang diatur dalam pasal 383 dan 386.

a. Penipuan yang dilakukan oleh pembeli.
Menurut pasal 379a yang berbunyi:
Barang siapa menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan untuk membeli benda-benda, dengan maksud supaya dengan tanpa pembayaran seluruhnya, memastikan kekuasaanya terhadap benda-benda itu, untuk diri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Dalam bahasa asing kejahatan ini dinamakan flessentrekkerij. Dan baru dimuat dalam KUHP pada tahun 1930. Kejahatan ini biasanya banyak terjadi di kota-kota besar, yaitu orang yang biasanya membeli secara bon barang-barang untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas. Model yang dilakukan biasanya dengan mencicil atau kredit. Dengan barang yang sudah diserahkan apabila pembeli tidak membayarnya lunas, sehingga merugikan penjual. Dalam hukum perdata hal ini disebut wan prestasi. Akan tetapi, apabila sudah dijadikan mata pencaharian atau kebiasaan seperti maksud semula tidak ingin membayar lunas, maka disebut tindak pidana.
Unsur-unsur kejahatan pembeli menurut pasal 379a yaitu:
a. Unsur-unsur objektif:
1. Perbuatan membeli;
2. Benda-benda yang dibeli;
3. Dijadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.
b. Unsur-unsur Subjektif:
1. Dengan maksud menguasai benda tersebut untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
2. Tidak membayar lunas harganya.
Agar pembeli tersebut bisa menjadikan barang-barang tersebut sebagai mata pencaharian maka setidaknya harus terdiri dari dua perbuatan dan tidaklah cukup apabila terdiri dari satu perbuatan saja. Akan tetapi, hal ini tidak muthlak harus terdiri dari dari beberapa perbuatan.

b. Penipuan yang dilakukan oleh penjual.
Adapun bunyi pasal 383 adalah:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
1. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;
2. mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.


Yang dimaksud dari menyerahkan barang lain daripada yang disetujui misalnya; seseorang membeli sebuah kambing sesuai dengan kesepakatan. Akan tetapi, penjual mengirimkan kambing tersebut dengan kambing yang lebih jelek. Sedangkan yang dimaksud dari pasal 383 (2) yaitu: melakukan tipu muslihat mengenai jenis benda, keadaan benda atau jumlah benda. Dan apabila keuntungan yang diperoleh oleh penjual tidak lebih dari Rp. 250,00. Maka penipuan tersebut masuk pada penipuan ringan.

c. Penipuan yang dilakukan oleh penjual kedua.
Hal ini disebutkan dalam pasal 386 yang merumuskan sebagai berikut:
1. barang siapa menjual, menyerahkan, atau menawarkan barang makanan, minuman atau obat-obatan, yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika nilainya atau faidahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan bahan lain.


Adapun yang ditekankan dalam pasal ini adalah apabila setelah dicampurnya barang makanan, minuman, atau obat-obatan tersebut berkurang nilai atau faidahnya, atau bahkan nilai atau faidah barang tersebut hilang sama sekali, maka kasus ini termasuk dalam kasus pidana dan termasuk pemalsuan barang. Oleh karena itu, tidak menjadi kasus pidana apabila setelah dicampur tidak berkurang atau hilang nilai dan faidahnya, maka tidak melanggar pasal ini.

Unsur-unsur dari kejahatan penipuan ini adalah:
a. Unsur-unsur objektif:
1. perbuatan: menjual, menawarkan, dan menyerahkan.
2. objeknya : benda makanan, benda minuman dan benda obat-obatan
3. benda-benda itu dipalsu.
4. menyembunyikan tentang palsunya benda-benda itu.
b. Unsur-unsur subjektif:
Penjual yang mencampur tersebut mengetahui bahwa benda-benda itu dipalsunya. Dalam hal ini penjual tidak dikenai hukuman apabila ia mengutarakan bahwa benda yang dipalsukan tersebut diberitahukan terhadap pembeli dan pembeli membeli barang tersebut berdasarkan kemauannya.

Adapun perbedaan antara pasal 383 dan 386 adalah:
1. kejahatan dalam pasal 386 adalah khusus hanya mengenai barang berupa: bahan makanan dan minuman atau obat-obatan, sedang dalam pasal 383 mengenai semua barang.
2. pasal 386 mengatakan tentang “menjual, menawarkan atau menyerahkan” barang (belum sampai menyerahkan barang itu sudah dapat dihukum), sedangkan pasal 383 mengatakan “menyerahkan”, (supaya dapat dihukum barang itu harus sudah diserahkan).
Selain itu, juga melanggar pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang salah satu poinnya berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.”
Juga melanggar pasal 11 Undang-Undang yang sama, yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

4. Penipuan dalam Karya Ilmiah dan Lain-Lain
Tindak pidana membubuhkan nama atau tanda palsu pada karya-karya di bidang sastra, di bidang ilmu pengetahuan dan di bidang seni telah diatur dalam pasal 380 KUHP, yang menyatakan:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah: (1) barang siapa menaruh nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam sebuah kesusastraan, keilmuan, kesenian, atau memalsukan nama atau tanda yang asli dengan maksud untuk menimbulkan kesan bahwa karya tersebut berasal dari orang yang nama atau tandanya ditaruh di atas atau di dalam karya tersebut, (2) barang siapa dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia karya-karya sastra, ilmiah, seni atau kerajinan yang di dalam atau di atasnya dibubuhi nama atau tanda palsu, atau yang nama atau tandanya yang asli telah dipalsu seakan-akan itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi.
2. Jika karya tersebut kepunyaan terpidana, hakim dapat menyatakan karya itu disita untuk kepentingan Negara.

Tidak pidana yang diatur dalam pasal 380 ayat (1) angka 1 KUHP itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur Subyektif: dengan maksud untuk menimbulkan kesan seolah-olah karya tersebut berasal dari orang, yang nama atau tandanya telah ia bubuhkan pada atau di dalam karya tersebut.
b. Unsur Obyektif: (1) barang siapa (2) membubuhkan secara palsu suatu nama atau tanda (3) memalsukan nama yang sebenarnya atau tanda yang asli (4) pada suatu karya sastra, ilmiah, seni atau kerajianan.
Selain itu, juga melanggar ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang berbunyi: “Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu atau musik dengan atau tanpa teks; drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan”.

5. Penipuan dalam Asuransi
Penipuan dalam Asuransi dibahas dalam dua pasal, yaitu pasal 381 dan 382 KUHP. Yang pertama dalam pasal 381 KUHP merumuskan sebagai berikut :
Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan, sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akan disetujuinya atau setidak-tidaknya tidak dengan syarat-syarat yang demikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan.
Rumusan kejahatan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
a. perbuatan menyesatkan, adalah perbuatan yang ditujukan pada orang, dalam hal ini penanggung dari perbuatan mana menimbulkan pesan atau gambaran yang lain dari keadaan yang sebenaranya.
b. caranya dengan tipu muslihat,
c. pada penggung asuransi,
d. mengenai keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan itu,
e. sehingga menyetujui perjanjian,
f. perjanjian mana : (a) tidak akan dibuat, dan atau (b) setidak-tidaknya tidak dengan syarat yang demikian, apabila keadaan yang sebenarnya diketahui.
Adapun yang kedua tentang penipuan ini diatur dalam pasal 382, yang menyatakan:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atas kerugian menanggung asuransi atau pemegang surat bodemerij yang sah, menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu benda yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran; atau mengaramkan, mendamparkan, menghancurkan, merusakkan, atau membikin tidak dapat dipakai, kapal yang diprtanggungkan, atau yang muatannya, maupun upah yang diterima unsur pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan, atau yang atasnya telah diterima uang bodemerij diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Unsur-unsur dari pasal 382 adalah sebagai berikuit:
a. Unsur obyektif:
1. Perbuatan: (a) menimbulkan kebakaran (b) ledakan (c) mengaramkan (d) mendamparkan (e) menghancurkan (f) merusakkan (membikin tidak dapat dipakai)
2. Menimbulkan kerugian pagi penanggung atau pemegang surat bodemerij
3. Obyeknya: (a) benda yang dipertanggngkan terhadap bahaya kebakaran (b) kapal yang dipertanggungkan, kapal yang muatannya dipertanggungkan, kapal yang upah untuk pengangkutan muatannya yang dipertanggungkan.
4. Kapal-kapal tersebut yang atasnya telah diterima uang bodemerij
b. Unsur subyektif:
1. maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
2. dengan melawan hukum

6. Penipuan Persaingan Curang
Bentuk penipuan ini diatur dalam apasal 382 bis , yang menyatakan:
Diancam denagan maksium hukuman penjara satu tahun empat bulan atau denda sebesar Rp 900,- barang siapa dengan maksud menetapkan, memelihara, atau menambah hasil perdagangan atau perusahaannya sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan yang bersifat menipu untuk memperdayakan khalayak ramai tau seorang tertentu, jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian pada lawannya bersaing atau lawan bersaing dari orang lain itu.

Unsur-unsur kejahatan tersebut adalah:
1. Unsur objektif
a. perbutan berupa perbuatan curang
b. yang ditujukan untuk menyesatkan khalayak umum atau orng tertentu
c. perbuatan itu dpat mnimbulkan kerugian bagi saingan-saingannya atau saingan orang lain
2. Unsur subjektif
a. untuk mendapatkan atau
b. melangsungkan, atau
c. memperluas hasil perdagangan atau perusahan milik sendiri atau milik orang lain

7. Stellionaat
Tindak pidana stellionaat atau dapat disebut penipuan dalam hal yang berhubungan dengan hak atas tanah dirumuskan dalam pasal 385 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1. barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukar, atau membebani dengan credietverband suatu hak tanah Indonesia, suatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan d iatas tanah dengan hak tanah atas Indonesia padahal diketahui bahwa yang mempunyai hak di atasnya adalah orang lain.
2. barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukar, atau membebani dengan kredit verband suatu hak tanah Indonesia yang telah dibebani kredit verband, atau suatu gudang bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak lain.
3. barang siapa dengan maksud yang sama menggadaikan kredit verband mengenai suatu hak tanah Indonesia dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang behubungan dengan hak tadi sudah digadaikan
4. barang siapa dengan maksud yang sama menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia padahal diketahui bahwa orang lain mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu.
5. barang siapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan padahal tidak diberitahukan pada pihak lain bahwa tanah itu telah digadaikan.
6. barang siapa degan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia untuk suatu masa, padahal diketahui bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga.

Dari setiap rumusan mempunyai unsur masing-masing. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Unsur obyektif
a) perbuatan: menjual, menukarkan membebani dengan kredit verbnd, menggadaikan, menyewakan,
b) obyeknya : hak atas tanah Indonesia, gedung, banguan, penanaman atau pembenihan diatas tanah dengan hak Indonesia.
2. unsur subjektif
a) maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
b) dengan melawan hukum
c) yang diketahui bahwa yang mempunyai atau yang turut mempunyai hak diatasnya adalah orang lain

8. Penipuan dalam Pemborongan
Jenis pidana ini biasanya dilakukan oleh seorang pemborong bangunan. Biasanya, pelaku menggunakan modus mengurangi berbagai campuran bahan bangunan dari yang semestinya, menggunakan bahan-bahan bekas atau yang berkualitas rendah yang tidak sesuai dengan perjanjian. Adapun motif dari penipuan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tindak pidana jenis ini diatur dalam pasal 387 KUHP, yang menyatakan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu membuat bangunan atau pada pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan, melakukan suatu perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaaan perang.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang tugasnya mengawasi penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan perbuatan curang.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 387 KUHP tersebut adalah:
a. Pasal 387 KUHP ayat (1):
1. Seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan,
2. Pada waktu membuat bangunan
3. Pada waktu menyerahkan bahan bangunan
4. Yang dapat berakibat: (a) menimbulkan bahaya bagi keselamatan manusia atau barang, (b) menimbulkan bahaya bagi negara pada waktu perang.
b. Pasal 387 ayat (2):
1. Seorang yang diberi tugas penyerahan barang
2. Membiarkan perbuatan curang dilakukan
3. Dengan sengaja

9. Penipuan Terhadap Batas Pekarangan
Adapun yang dimaksud dengan batas halaman/pekarangan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai batas pekarangan. Batas itu diantaranya bisa berupa tembok, kawat berduri, tanggul, dan sebagainya yang berfungsi membatasi antar pekarangan milik orang lain.
Bentuk penipuan ini diatur dalam pasal 389 KUHP, yang menyatakan:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menghancurkan, memindahkan, membuang, atau membikin tak dapat dipakainya sesuatu yang digunakan untuk menentukan batas pekarangan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Adapun rumusan tindak pidana tersebut adalah:
1. Unsur Subyektif
a. Perbuatan: (1) menghancurkan, (2) memindahkan, (3) membuang, (4) membuat hingga tak dapat dipakai
b. Obyeknya: sesuatu yang digunakan sebagai tanda batas pekarangan
2. Unsur Subyektif:
a. Maksud menguntungkan: (1) diri sendiri, (2) orang lain
b. Dengan melawan hukum
Perlu dijadikan suatu cacatan bahwa sejak adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), ketentuan-ketentuan tentang tanah yang diatur dalam KUHP dihapuskan dan tidak berlaku lagi.

10. Penyiaran Kabar Bohong
Yang dimaksud penyiaran kabar bohong di sini adalah perbuatan menyiarkan kabar bohong yang dimaksudkan oleh pelakunya untuk mempengaruhi berbagai harga barang di pasaran supaya naik turun.
Hal ini diatur dalam pasal 392 KUHP, yang menyatakan:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hokum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana tau surat-surat berharga menjdi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Pasal tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Obyektif
a. menyiarkan berita bohong, dan
b. menaikkan atau menurunkan harga barang di pasaran
2. Unsur Subyektif
a. Dengan maksud: menguntungkan diri sendiri atau orang lain
b. Dengan melawan hukum

11. Penipuan dengan Memberikan Gambaran Tidak Benar Tentang Surat Berharga
Tindak pidana dilakukan dengan modus tidak memberikan gambaran yang senyatanya yang sengaja dilakukan untuk menarik orang lain agar tertarik untuk ikut serta dalam usaha tersebut.
Tindak pidana ini diatur dalam pasal 391 KUHP yang menyatakan :
Barang siapa menerima kewajiban untuk, atau memberi pertolongan padapenempatan surat atau hutangsesuatu Negara atau bagiannya, atau suatu lembaga umum, sero atau surat hutang sesuatu perkumpulan, yayasan atau perseroan, mencoba menggerakan khalayak umum untuk pendaftarannya atau penyertaannya, dengan sengaja menyembunyikan atau mengurangkam keadaan yang sebenarnya, atau dengan membayang-bayangkan keadaan yang palsu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Dalam pidana ini terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur-unsur obyektif :
a. seorang yang diberikan kewajiban untuk menempatkan atau memberikan bantuan dalam penempatan :
1. Surat-surat hutang atas nama negara atau bagian dari negara atau suatu lembaga pemerintahan
2. Saham-saham atau surat hutang atas nama suatu perkumpulan atau yayasan atau bentuk kerja sama.
b. Mencoba menggerakkan publik untuk:
1. Mendaftarkan diri atau turut serta
2. Dengan mendiamkan atau mengurangi keadaan sebenarnya
3. Dengan memberikan gambaran-gambaran perbuatan-perbuatan yang palsu
b. Unsur Subyektif: Dengan sengaja

12. Penipuan dengan Penyusunan Neraca Palsu
Bentuk pidana ini diatur dalam pasal 392 KUHP, yang menyatakan:
Seorang pengusah, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Adapun apabila diperinci, maka pasal di atas akan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur Obyektif
a. Petindaknya:
1. seorang pengusaha
2. seorang pengurus
3. komisaris dari: (a) PT (b) Maskapai Andil Indonesia (c) Koperasi
b. Perbuatannya: mengumumkan
c. Obyeknya: keadaan atau neraca yang tidak benar
b. Unsur-unsur subyektif: dengan sengaja

Demikian pembahasan mengenai bentuk-bentuk penipuan. Akan tetapi, masih ada beberapa bentuk yang tidak dicantumkan, misal: Penipuan terhadap penyerahan barang untuk keperluan militer, penipuan dengan nama perdagangan atau merk orang lain, dll. Karena menurut hemat penulis bentuk-bentuk penipuan tersebut tidak lagi dipandang dari perspektif KUHP, melainkan dari UU yang lebih khusus mengatur tentang bentuk-bentuk tindak pidana tersebut.

Analisis Kasus
25/03/2008 08:30 Kasus Penipuan
Penipuan Kupon Berhadiah Memakan Korban
Liputan6.com, Depok: Christine, warga Cisalak, Depok, Jawa Barat tertipu kupon undian berhadiah mobil, baru-baru ini. Ia terpaksa kehilangan uang senilai Rp 7 juta yang masuk ke rekening pelaku. Korban yang melaporkan kejadian ini ke Pos Polisi Cililitan, Jakarta Timur diminta untuk meneruskan laporan ke Kepolisian Sektor Cimanggis. Pasalnya, lokasi kejadian di wilayah hukum Cimanggis.

Penipuan itu bermula saat Christine membeli sabun deterjen dalam bentuk sachet. Dalam kemasan terdapat kupon undian yang menyebutkan korban memenangi sebuah mobil. Korban mengaku telah mengkonfirmasi nomor telepon yang tertera pada kupon. Namun, pelaku dengan cerdik mencatut nama Direktur Lalu Lintas Kepolisan Daerah Metro Jaya Djoko Susilo yang seolah-olah mengesahkan hadiah mobil tersebut.

Kasus serupa juga menimpa warga Sukabumi, Jabar. Diah, istri Ibin harus kehilangan uang Rp 25 juta setelah tertipu undian berhadiah sebuah mobil keluaran terbaru yang diperoleh dari sebungkus deterjen. Mereka langsung melaporkan penipuan ini ke aparat Polsek Cisaat, Sukabumi.
Penipuan berawal saat Diah membeli enam bungkus deterjen di sebuah pasar tradisional di Sukabumi. Dalam salah satu bungkus deterjen, ia menemukan kupon undian berhadian mobil. Setelah mengontak nomor telepon yang tertera dalam kupon, korban diminta menyetorkan uang Rp 25 juta untuk biaya balik nama mobil. Korban kemudian meminjam uang kepada tetangganya dengan jaminan rumah. Namun, usai menyetorkan uang mereka baru sadar telah ditipu. Kasus penipuan itu kini ditangani jajaran Kepolisian Resor Kota Sukabumi.(RMA/TimLiputan6SCTV)

Kalau diperhatikan, dalam kasus di atas terdapat beberapa unsur penting yang mengindikasikan terhadap tindakan pidana penipuan. Baik dari segi unsur objektif maupun unsur subjektif dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku dalam kasus tersebut. Unsur objektif dalam kasus tersebut terlihat jelas dari cara-cara yang digunakan pelaku, yaitu adanya upaya untuk menggerakan korban dalam hal ini dengan mempengaruhi korban atau menanamkan pengaruh agar korban menyerahkan sesuatu, dalam kasus ini uang sebagai biaya untuk balik nama mobil yang merupakan tipu muslihat pelaku saja. Selain itu pelaku juga menggunakan nama palsu. Yaitu dalam kasus di atas pelaku mencatut nama Direktur Lalu Lintas Kepolisan Daerah Metro Jaya Djoko Susilo yang seolah-olah mengesahkan hadiah mobil tersebut. Hal ini dilakukan pelaku untuk mempengaruhi Christine yang merupakan korban dalam kasus tersebut.

Sedangkan unsur subjektif yang mengindikasikan tindakan pidana penipuan yang terdapat dalam kasus diatas yaitu adanya kesengajaan pelaku untuk menguntungkan diri sendiri yang merupakan maksud si pelaku dari perbuatan menggerakan korban dengan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini tentunya sebelum melakukan atau ketika memulai perbuatan menggerakan si pelaku telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri dengan melakukan perbuatan seperti ini adalah melawan hukum. Yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan tidak dikehendaki oleh masyarakat.

Dari unsur-unsur yang terkandung dalam kasus di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kasus tersebut termasuk tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok yang diatur dalam KUHP pasal 378 yang mana akibat hukumnya adalah yang diancam dangan hukuman penjara paling lama empat tahun.

di kutip dari
http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2011/04/tindak-pidana-penipuan.html

tindak pidana penipuan,hukum tindak pidana penipuan, waspada penipuan, penipuan online, undian berhadiah,hadiah penipuan,undian penipuan,penipu kakap,penipu goblok,

Demikian uraian tentang hukum tindak pidana penipuan dan bentuk-bentuknya,
Semoga bermanfaat